Senin, 23 Juli 2012

Perbedaan Gambar Anak-anak dan Gambar Orang dewasa

PERBEDAAN GAMBAR ANAK-ANAK DENGAN GAMBAR ORANG DEWASA


GAMBAR ANAK-ANAK :

  • Tidak begitu mementingkan unsur keindahan dalam gambar

  • Dalam menggambar, selalu mencoretkan apa yang mereka pikirkan

  • Belum begitu mengetahui tentang teknik menggambar yang baik dan benar, sehingga kadang masih terlihat kacau

  • Pemberian warna hanya sesuai dengan keinginannyaatau corak yang menarik

  • Dalam menggambar lebih sering meniru dari apa yang mereka lihat

     

          GAMBAR ORANG DEWASA :

  • Lebih mementingkan unsur keindahan

  • Menggunakan teknik-teknik yang agak sulit

  • Pewarnaan gambar selalu disesuaikan dengan keadaan nyata 

  • Dalam menggambar mampu mengeluarkan imajinasi yang terpendap, sehingga menghasilkan karya yang luar biasa

  • jarang menggambar dari meniru yang sudah ada, lebih pada penciptaan hal yang baru  

KARAKTERISTIK GAMBAR ANAK

Viktor Lowenfeld dalam bukunya Creative and Mental Growth (1982) meneliti tingkat perkembangan menggambar anak berdasarkan usia, menganalisis tentang periodisasi yang menjadi ciri umum lukisan anak-anak sesuai waktu (usia) dan tahap perkembangan sosial intelektual mereka, sebagai berikut:

A.  Periode Coreng-moreng (Scribbling Stage)

Periode ini berlaku bagi anak berusia 2 sampai 4 tahun (masa prasekolah). Gambar yang dibuat tanpa makna, hanya perbuatan meniru orang lain, tetapi merupakan latihan gerak motorik dari koordinsai gerakan tangan dan mata, gambar berupa goresan tipis tebal dengan arah yang belum terkendali. Periode ini terditi dari 3 fase, hanya setiap fase jaraknya sangat singkat sekali, sehingga dianggap satu fase.

1.      Goresan tak Beraturan

Gambar tanpa makna, karena anak melakukannya hanyalah meniru orang lain, belum dapat membuat coretan berupa lingkaran, karena hanya merupakan latihan gerak motorik antara mata dengan gerak tangan, bentuk garis sembarangan, bersemangat tanpa melihat ke kertas, merupakan fase yang paling awal dalam tahap perkembangan menggambar anak.

2.      Goresan Terkendali

Berupa goresan-goresan tegak, mendatar, lengkung bahkan lingkaran, coretan dilakukan berulang-ulang. Nampak anak mulai memerlukan kendali visual terhadap coretan yang dibuatnya, disini koordinasi antara perkembangan visual (gerak mata) dengan gerak motorik (tangan) semakin lengkap. Goresan dibuat dengan penuh semangat.

3.      Goresan Bermakna

Pengalaman anak dalam membuat goresan semakin lengkap, gambar anak mulai terwujud menjadi satu kesatuan, bentuk yang semakin bervariasi, anak mulai memberi nama pada hasil coretannya dan mulai menggunakan warna. Dalam menggambar, anak belum mempunyai tujuan untuk menggambar sesuatu, karena fase ini lebih didasari oleh perkembangan fisik dan jiwa anak. Anak yang normal pasti suka meggambar.

 

B.  Periode Pra Bagan (Pre Schematic Stage)

Periode ini berlaku bagi anak berusia 4-7 tahun (taman kanak-kanak). Sejalan dengan meningkatnya perkembangan anak, pengalaman anakpun makin bertambah, lingkup sosial makin luas, anak berkesempatan mencipta, bereksperimen, menjelajah, dan berbagai hal baru yang erat dengan perkembangan jiwa, rasa maupun emosinya. Anak mulai mengenal dunia baru, mengenal sekolah, teman sebaya, guru, dan lingkungan baru. Sehingga gambar yang dibuat oleh anak mulai menggambar bentuk-bentuk yang berhubungan dengan dunia sekitar mereka. Rumah, manusia pohon dan lingkungan sekitarnya menjadi obyek yang menarik perhatian anak. Terutama gambar manusia, jarang anak seusia ini menggambar manusia dari samping, mereka lebih menyukai gambar dari arah depan, karena dapat memuat unsur wajah yang lebih lengkap. Unsur warna kurang diperhatikan, anak lebih tertuju pada hubungan antara gambar dan obyek gambar. Warna menjadi subyektif karena tidak mempunyai hubungan dengan obyek. Sedangkan konsep ruang tak lain adalah apa yang ada di sekitar dirinya, menjadikan tidak logisnya antara obyek yang satu dengan obyek lainnya.

C.      Periode Bagan (Schematic Stage)

Periode ini berlaku bagi anak berusia 7 sampai 9 tahun. Sejalan dengan tahap perkembangan anak, pada akhir tahap ini perkembangan akal sudah mulai mempengaruhi gambar anak. Anak sudah mulai menggambar obyek dalam suatu hubungan yang logis dengan gambar lain. Konsep ruang mulai nampak dengan adanya pengaturan antara hubungan obyek dengan ruang, gambar mulai realistis, mulai mengarah ke bentuk-bentuk yang mendekati kenyataan. Ciri utama gambar anak pada fase ini adalah adanya garis dasar yang merupakan tempat obyek atau benda-benda berdiri, merupakan suatu perkembangan yang wajar. Muncul gejala yang disebut “folding over”, yakni cara menggambar obyek tegak lurus pada garis dasar, meskipun obyek akan nampak terbalik. Ciri lainnya, adanya gambar yang disebut “sinar X” (X-ray), yakni gambar yang berisi benda atau obyek lain dalam suatu ruang yang sebenarnya tidak kelihatan. Gambar dibuat berdasarkan ide anak itu sendiri, misalnya gambar rumah yang kelihatan bagian dalamnya seolah-olah rumah tersebut terbuat dari kaca bening. Warna mulai obyektif, artinya anak menyadari adanya hubungan antara warna dengan obyek. Disini anak telah menemukan konsep tertentu mengenai warna, yakni bahwa obyek tertentu akan memiliki warna tertentu pula. Ciri lain yang kurang menguntungkan, gambar nampak lebih kaku. Anak cenderung mencontoh gambar orang lain, hal ini karena berkembangnya sifat kooperatif di antara mereka.

D.      Periode Awal Realisme (Early Realism Stage)

Periode ini berlaku bagi anak berusia 9 sampai 12 tahun (kelas IV SD-VI SD) disebut pula “usia pembentuk kelompok”. Masa ini ditandai oleh besarnya perhatian anak terhadap obyek gambar yang dibuatnya. Bentuk-bentk gambar mulai mengarah ke bentuk realistis, tetapi nampak lebih kaku, hal ini sebagai akibat perkembangan sosial yang meningkat, mereka lebih memikirkan bentuk gambar yang dapat diterima oleh lingkungannya, akibatnya spontanitas berkurang. Anak mulai mengekspresikan obyek gambar dengan karakter tertentu, lelaki atau wanita secara jelas. Karakteristik warna mulai mendapat perhatian, walaupun belun adanya penampilan dalam hal perubahan efek warna dalam terang dan bayang-bayang. Dalam gambar adanya penemuan penggambaran bidang dasar sebagi tempat pijakan (ground) benda dan obyek gambar. Adanya garis horizon, walaupun fungsinya belum dimengerti, sehingga kesan perspektif akan kelihatan janggal. Terlihat adanya menghias (mendekorasi ) obyek gambar.

E.       Periode Naturalistik Semu (Pseudo Naturalistic Stage)

Periode ini berlaku bagi anak berusia 12 sampai 14 tahun. Masa pra puber. Gambar yang dibuat sesuai dengan obyek yang dilihatnya, sehingga timbul minat terhadap naturalisme, terutama pada anak yang bertipe visual. Anak mulai menggambar sesempurna mungkin, sehingga detail lebih diperhatikan, akibatnya spontanitas hilang. Oleh karena itu pada periode ini merupakan akhir dari aktivitas spontanitas. Anak menjadi kritis terhadap karyanya sendiri. Ia mulai memperhitungkan kualitas tiga dimensi (perspektif).

Dari sekian banyak gambar yang diteliti oleh Viktor Lowenfeld, tidak ada satu pun gambar anak dari Indonesia yang dipilih menjadi sampel. Kenyataannya, ada sekitar 10 gambar anak-anak Indonesia yang sejenis, yakni gambar pemandangan alam dengan dua buah gunung yang diantaranya menyembul matahari dengan pancaran sinarnya. Di bawah gunung terhampar sawah atau sebuah danau atau laut dengan perahu layarnya. Semua ini ada kemungkinan akibat metoda mencontoh yang diajarkan di bangku sekolah dasar. Kedua, karena pengaruh lingkungan yang kental yang mempengaruhi anak, disamping memori anak memang kuat. Mereka mampu menyerap apa yang mereka lihat, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti dari buku-buku komik, kalender, bahkan dari media visual lainnya (televisi, majalah, koran dan lain-lain). Oleh karenanya, alangkah lebih baiknya apabila sebagai orang tua kita mau mengambil langkah pertama, membuat suatu perubahan dalam membebaskan kreatifitas anak “Membebaskan” anak menggambar sama dengan membebaskan anak dalam menuangkan imajinasi dan mengungkapkan dirinya melalui gambar. Melalui menggambar, secara tanpa disadari anak dapat belajar memecahkan persoalan yang dihadapi. Dengan menggambar anak dapat bermain dan berekspresi dengan sepuas-puasnya. Jadi, tugas guru dan orang tua sebaiknya tidak mengajarkan konsep pendidikan seperti di masa lalu, dimana anak dianggap sebagai mahluk yang lemah, serba tidak tahu. Tugas orang dewasa hanyalah mengembangkannya secara alami.

 

Minggu, 22 Juli 2012

Kenyataan Gambaran Anak Indonesia

Gambar anak-anak Indonesia dalam kenyataannya sering menggambarkan :
  1. Menggambarkan pemandangan alam dengan dua buah gunung yang diantaranya
  2. Menggambar matahari dengan pancaran sinarnya. Di awan gunung terhampar
  3. Sawah atau sebuah danau atau laut dengan perahu layarnya.

Semua ini ada kemungkinan akibat

  1. Metoda mencontoh yang diajarkan di bangku sekolah dasar.
  2. Pengaruh lingkungan yang kental yang mempengaruhi anak, disamping memori
  3. Anak memang kuat. Mereka mampu menyerap apa yang mereka lihat, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti dari buku-buku komik, kalender, bahkan dari media visual lainnya (televisi, majalah, koran dan lain-lain).

Pengertian Nilai dari Berbagai Ahli

 

Pengertian Seni

   Seni mempunyai usia yang lebih kurang sama dengan keberadaan manusia di muka bumi ini. Dalam usia yang sangat tua, seni telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan budaya manusia di berbagai belahan bumi, dengan beraneka macam bentuk dan jenis. Walaupun orang telah akrab dengan istilah 'seni', namun terkadang masih belum jelas tentang 'apakah definisi seni itu'.

   Herbert Read menyatakan bahwa istilah 'art pada umumnya dihubungkan dengan bagia seni yang biasa ditandai dengan istilah 'plastiC atau 'visual', tetapi semestinya di dalamnya termasuk pula seni sastra dan seni musik.

  Schopenhauer adalah orang pertama yang menyatakan bahwa semua cabang seni bersumber pada kondisi seni musik; pernyataan ini sering disebut- sebut, sehingga menyebabkan sebagian besar kesalahtafsiran, namun sebenarnya ia mengungkapkan suatu kebenaran yang penting. Sesungguhnya Schopenhauer berpikir tentang kualitas abstrak dari seni musik, dan hampir hanya dalam seni musik saja seorang seniman memiliki kemungkinan untuk menarik perhatian publik secara langsung, tanpa intervensi medium komunikasinya yang sering juga dipakai untuk maksud-maksud lain.

   Kini persoalan seni adalah keindahan tidak selamanya bertahan sebagai satu-satunya definisi. Dalam seni kontemporer (termasuk seni modern) yang dihasilkan seniman tidak hanya karya yang indah, tetapi juga karya yang tidak indah dan tidak menyenangkan. Banyak karya seni kini lahir justru bukannya menyenangkan, tetapi memberikan berbagai persoalan yang rumit (sebagai problem kehidupan). Tema dalam seni tumbuh dari manifestasi kesengsaraan, kemelaratan kekacauan atau bahkan protes sosial, dengan berbagai teknik dan bentuk.

    Definisi seni yang lain dapat dijumpai dalam Everyman Encyclopedia, yaitu bahwa seni merupakan segala sesuatu yang dilakukan orang bukan atas dorongan kebutuhan pokoknya, melainkan adalah apa saja yang dilakukannya semata-mata karena kehendak akan kemewahan, kenikmatan, ataupun karena kebutuhan spiritual.

           Ki Hajar Dewantara seorang tokoh Pendidikan Nasional kita telah membuat definisi seni sebagai berikut: "Seni adalah perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia yang lain, yang menikmati karya seni tersebut". Definisi yang lain, dari pernyataan Akhdiat Kartamiharja, yang menekankan bahwa seni merupakan kegiatan psikis (rohani) manusia yang merefleksi kenyataan (realitas). Ahli seni dan filsuf berkebangsaan Amerika, Thomas Munro, mendefinisikan seni sebagai alat buatan manusia yang menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain yang melihatnya.

Sabtu, 21 Juli 2012

Seni rupa zaman prasejarah dan hindu di Indonesia bersifat magis dan religius


Seni prasejarah yang dihasilkan oleh manusia (homo sapiens) pertama, dengan nyata telah memperlihatkan berbagai keunikan. Karya yang dibuat lebih banyak dimaksudkan bagi keperluan hidup sehari-hari, untuk membantu tubuh dalam menghadapi tantangan alam. Bila kita meneliti artifak peninggalan manusia prasejarah dapat dipastikan bahwa kepercayaan animisme, dinamisme, dan totemisme sudah ada pada saat itu. Kepercayaan tersebut menjadi tenaga pendorong untuk berkarya, dan kita sering mengatakan bahwa karya itu berlatarbelakang magis dan religius. Namun tidak sedikit pula karya seni, khususnya seni rupa, yang dilatarbelakangi kepentingan praktis dan estetis saja.
Bila kita meneliti artifak peninggalan manusia prasejarah dapat dipastikan bahwa kepercayaan animisme, dinamisme, dan totemisme sudah ada pada saat itu. Kepercayaan tersebut menjadi tenaga pendorong untuk berkarya, dan kita sering mengatakan bahwa karya itu berlatarbelakang magis dan religius. Namun tidak sedikit pula karya seni, khususnya seni rupa, yang dilatarbelakangi kepentingan praktis dan estetis saja.
Benda-benda peninggalan seni prasejarah yang dapat kita catatkan di antaranya:
  1. Lukisan gua (cave painting) banyak ditemukan di Eropa dan di Indonesia dengan berbagai gaya dan bentuk, dengan latar belakang magis.
  2. Bejana keramik (gerabah) dengan berbagai motif hias yang menarik untuk kepentingan praktis.
  3. Genderang perunggu untuk kepentingan upacara religi yang dihiasi motif stilasi makhluk hidup dan motif geometris yang artistik.
  4. Hiasan-hiasan tubuh (manik-manik), senjata, serta perlengkapan upacara, termasuk patung-patung kecil dari batu atau logam.
Selain contoh karya yang dituliskan tersebut masih banyak karya seni prasejarah yang lain, baik yang dihasilkan pada zaman paleolitikum, messolitikum, megalitikum, neolitikum, maupun zaman logam. Perlu dicatat juga bahwa karya yang memiliki nilai artistik yang tinggi, terutama pada benda- benda yang tiga dimensional, dihasilkan sejak zaman neolitikum dan zaman logam. Jika kita ingin mengetahui latar belakang penciptaan karya seni, maka kita harus memahami dorongan utama manusia dalam menciptakan karya seni.
Berdasarkan penelitian, dorongan berkarya seni pada dasarnya meliputi:
1.      Dorongan magis dan religius (keagamaan).
2.       Dorongan untuk bermain.
3.       Dorongan untuk memenuhi kebutuhan praktis (sehari-hari).

(Karya Seni Lukis Dinding Gua Zaman Prasejarah Indonesia, Dorongan Magis).
Sejak zaman prasejarah ketiga dorongan tersebut telah menjadi titik tolak kelahiran karya seni, dan akan menjadi dasar dalam penciptaan dan pengembangan karya seni. Pada zaman sekarang, seniman berkarya seni didasari berbagai dorongan berdasarkan misi dan visinya.  

Relief Arjuna, Zaman Hindu, Bali Karya Seni Rupa(Arsitektur) dilatarbelakangi Dorongan Religius

Gerbang Pura di Bali Karya Seni Rupa(Arsitektur) dilatarbelakangi Dorongan Religius